Minggu, 11 November 2012 By: Unknown

Tugas membuat Drama


Aku Sayang Mama
Dipagi yang cerah dan hembusan embun yang begitu sejuk membuatnya terasa nyaman. Mentari pagi hari telah membangunkan seluruh isi bumi. Dilihatnya senyum mentari yang begitu mempesona. Pagi ini tiba saatnya Olive pergi kesekolah tepatnya di SMAN Harapan Bangsa. Olive anak semata wayang dari Bramantio yang biasa dipanggil Tio dan istrinya Nia. Walaupun kadang Olive kesepian karena mama dan papanya selalu sibuk kerja. Olive bahagia dengan keluarga kecil ini. Dilihatnya mama dan papanya sedang mengobrol diruang makan.
Olive                      : “Pagi Mama, pagi Papa.”
Nia & Tio              : “Pagi sayang (Jawab mereka serentak).”
Nia                         : “Makan dulu sayang nasi goreng bikinan Mama.”
Olive                      : “Beres Mama.”
Tio                          : “Nanti kamu kesekolah ikut Papa ya. Papa ingin mengantar kamu kesekolah.”
Olive                      : “Oke Papa, tumben mau  mengantar aku ke sekolah biasanya aku disuruh naik bus sendiri?”
Tio                          : “Papa kangen sama anak Papa yang semakin hari semakin besar ini (sambil dielusnya rambut anak kesayangannya itu).”
Olive                      : “Papa bisa saja kayak kita tidak tinggal serumah gitu. Kan Papa tiap hari lihat Olive.”
Tio                          : “Tidak apa-apa dong sayang sekali-kali Papa mengantar anak Papa yang cantik ini.”
Olive                      : “Ih Papa gombal.”
Nia                         : (Ikut tersenyum dengan percakapan anak dan suaminya yang begitu hangat).

Setahun kemudian ...
Aku benci hidupku !!!
Olive berteriak dalam hati sambil memandang langit-langit ruang olahraga. Dia tidak tahu sudah berapa lama berada di sana. Yang jelas, dia sudah membolos pelajaran sejak tadi pagi. Tangan kanannya memegang sebatang rokok. Dia merokok sambil duduk di tepi jendela, mencoba mengingat sudah berapa banyak rokok yang diisapnya. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
Olive sudah tidak pernah mau memedulikan apa pun lagi semenjak papanya bercerai dengan mamanya setahun lalu. Dia sama sekali tidak tahu kalau hubungan orangtuanya bermasalah. Jadi setahun lalu tanpa ada tanda apa-apa sebelumnya, papa menjelaskan bahwa dia ingin bercerai dengan mama dan pergi keluar kota.
Olive                      : “Aku muak dengan hidupku, aku benci Mama. Gara-gara Mama, Papa pergi.”
Olive menutup diri rapat-rapat selama dua minggu pasca setelah perceraian kedua orangtuanya. Keluar kamar hanya kalau mau minum. Makan dia beli dari luar. Tidak bicara. Tidak sekolah. Setelah dua minggu, Olive mulai keluar dari kamar. Tapi kepribadiannya berubah total. Dia berangkat sekolah, tapi mulai membolos sekolah dan belajar merokok.
Mamanya tentu saja marah besar. Tetapi apa pun yang dikatakan ibunya, Olive tidak mau peduli lagi. Padahal dulunya Olive adalah anak yang berprestasi dan peduli pada orang lain.
Nia                         : “Mama mohon kamu jangan buat Mama malu. Kepala sekolah kamu memanggil Mama. Katanya kamu sering membolos dan suka merokok. Kamu itu kenapa? Kenapa menjadi anak pembangkang?”
Olive                      : “Olive tidak suka sekolah. Olive kayak gini karena Mama. Apa yang Mama lakuin sehingga Papa pergi tinggalin kita. Apa Mama selingkuh?”
Nia                         : (Sontak menampar Olive dengan tangan kanannya).
Olive                      : “Aku benci Mama (Pergi meninggalkan ruang tengah dimana insiden itu baru selesai terjadi).”
Hati Nia meringis menahan sakit yang begitu perih. Disatu sisi dia ingin menangis karena telah menampar anak kesayanganya dan disisi lain luka lama karena mantan suaminya terkuak kembali. Nia menyadari anaknya masih belum dewasa untuk mengerti akan fakta yang sebenarnya. Nia hanya ingin Olive mengganggap papanya sebagai sosok ayah yang paling baik yang pernah Olive miliki.

Olive membuka matanya dengan perlahan. Mentari sudah terang menyilaukan ketika memasuki jendela kamar tidurnya. Dilihatnya jam dinding. Jam sepuluh lebih lima belas menit. Yang pasti, sekolah sudah dimulai beberapa jam yang lalu. Olive heran mamanya tidak membangunkannya pagi-pagi untuk berangkat sekolah. Yang pasti, jam sekian ini mamanya pasti sudah pergi ke kantor. Pekerjaan selalu lebih penting dari apa pun baginya.
Olive bangkit dari tempat tidurnya dengan perlahan. Selesai mandi dia mengenakan baju seragamnya dengan sengaja mengeluarkan bajunya, membuatnya jadi terlihat berantakan. Ketika Olive tiba disekolahnya, gerbang sekolah sudah ditutup. Dia memanjat gerbang tersebut tanpa masalah.
Sesaat setelah kaki Olive menyentuh lapangan sekolah, seorang satpam berjalan menghapirinya.
Olive                      : ‘Sial’ (Gerutu Olive dalam hati).”
Sebetulnya dia senang-senang saja aksi memanjatnya diketahui seseorang. Semakin cepat dia membuat kesalahan. Semakin cepat dia akan dikeluarkan dari sekolah ini. Tetapi perutnya sedang keroncongan karena tadi pagi belum makan. Saat ini yang dipikirkannya adalah bagaimana dia bisa menuju kantin secepatnya.
Si satpam             : “Selamat pagi! Apa kamu tidak tahu jika gerbang sekolah sudah ditutup, para siswa dilarang memasuki sekolah tanpa seizin guru?”
Olive                      : “Saya tahu kok! (kata Olive dengan enteng). “Pertama-tama Bapak akan menanyakan nama saya, lalu melaporkan saya pada guru piket hari ini, kemudian guru tersebut akan menentukan hukuman untuk saya.”
Si bapak satpam mengerutkan keningnya. Baru kali ini dia menemui  seorang murid yang tidak merasa bersalah melakukan pelanggaran sekolah.
Olive                      : “Begini saja, Pak, bagaimana kalau Bapak pura-pura tidak tahu tentang pelangggaran saya ini? Sebetulnya saya tidak keberatan kalau saya dihukum. Malah itu lebih baik. Tapi perut saya sangat lapar saat ini, jadi saya tidak punya waktu untuk  berbasa-basi lagi.”
Si satpam             : “Baiklah!” (Katanya menyerah).”
Olive                      : “Saya yakin saya akan melakukan hal ini lagi kapan-kapan. Saat itu Bapak boleh melaporkan saya pada para guru. Saya tidak keberatan sama sekali!”
Oliveberlari meninggalkan pak satpam yang kebingungan mencerna arti perkataan tersebut. Dalam hati Olive menyadari bahwa mencari cara untuk membuat onar lebih mudah daripada menjadi murid teladan. Sama halnya dengan membuat kenangan buruk lebih mudah daripada membuat kenangan baik.
Perutnya berbunyi lagi. Olive berlari kearah kantin. Tak berapa lama kemudian, dia duduk dibangku kantin sambil menikmati makanannya. Setelah selesai, dia berjalan-jalan mengelilingi sekolah. Langkahnya terhenti saat melihat Eza yang duduk di bangku taman sekolah. Dilihatnya teman-teman sekelas cowok itu sedang berolahraga tidak jauh dari sana. Olive mendekati lalu duduk di sebelahnya.
Olive                      : ”Wah! Rupanya si anak teladan bisa bolos pelajaran juga! Bagaimana kalau aku beritahu Pak Guru kamu bolos pelajaran olahraga?”
Eza                         : “Bukannya kamu juga bolos?”
Olive                      : (Tertawa) “Ya! Itu maksudku! Apakah sebaiknya kita memberitahu Pak Guru kalau kita berdua membolos? Aku jadi penasaran hukuman apa yang akan diberikan oleh mereka!”
Eza                         : “Aku tidak tahu! Aku belum pernah dihukum!”
Olive                      : (Olive mengeleng-gelengkan kepalanya) “ Ya! Aku yakin begitu kamu tidah pernah melakukan kesalahan makanya tidak pernah dihukum. Apakah kamu tidak bosan menjadi anak teladan terus-menerus? Cobalah sekali-kali menjadi anak nakal dan melihat betapa kreatifnya para guru membuat hukuman!”
Eza                         : “Kreatif? (Tanya Eza bingung).”
Olive                      : “Dari lari keliling lapangan, mencat meja sekolah, menulis ‘aku tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi’ diatas seratus lembar kertas, membereskan buku di perpustakaan, sampai membersihkan WC!”

Eza                         : (Tertawa) “Dan kamu merasakan semuanya?”
Olive                      : “Tidak! Aku bilang aku melihat bukan merasakan! Aku sudah keburu drop out sebelum hukuman itu dilakasanakan!”
Tangan Olive mengeluarkan sebatang rokok dan pematik api yang memang sudah dia bawa di sakunya. Olive menyelipkan rokok di bibirnya. Sebelum dia sempat menyulutnya, Eza menatapnya dan berkata,
Eza                         : “Tolong jangan merokok!”
Olive                      : (Tertawa pendek) “Kenapa? Mau menasehatiku kalau merokok tidak bagus buat kesehatanku?”
Eza                         : (Eza menggeleng) “Tidak! Sebenarnya justru tidak bagus buat kesehatanku!”
Olive                      : (Tertegun mendengarnya) “Apa maksudmu?”
Eza                         : “Aku sakit (Jelas Eza sederhana).”
Olive                      : “Sakit? (Tanya Olive lagi).”
Eza                         : (Mengangguk) “Aku tidak membolos pelajaran olahraga. Aku memang tidak bisa mengikutinya.”
Olive                      : “Memangnya kamu sakit apa? (Tanya Olive penasaran) “Flu, sakit perut, demam atau apa?”
Eza                         : “Aku punya kelainan jantung sejak lahir!”
Untuk sesaat Olive tidak sanggup berkata-kata. Mereka berdiam diri selama beberapa saat.
Olive                      : “Mengapa kamu memerhatikanku kemaren sewaktu berolahraga? (Tanya Olive diam-diam). Asal tahu saja, aku benar-benar tidak suka kalau ada orang yang memperhatikanku tanpa sepengetahuanku. Apa karena kamu ingin melihat si anak berandalan, dan berpikir betapa beruntungnya kamu menjadi anak teladan?”
Eza                         : “Tidak! (Jawab Eza singkat).”
Olive                      : “Lalu kenapa? (Tanya Olive penasaran).”
Eza                         : “Karena aku iri padamu! Kamu bisa bermain voli dengan senang. Aku tidak pernah bisa bermain seperti itu. Hidupku hanya berkisar disekolah dan rumah sakit! Tidak boleh berolahraga sekali pun karena itu bisa membahayakan jantungku.”
Olive tidak menyangka Eza akan berpikiran seperti itu. Baru pertama kali ada orang yang iri padanya hanya karena dia ingin bermain voli. Sesaat Olive merasa kasihan pada pemuda ini. Olive berusaha keras untuk menghancurkan hidupnya, di lain pihak Eza justru berusaha keras untuk mempertahankan hidupnya.
Tiba-tiba saja Pak Donny muncul di hadapan mereka berdua.
Pak Donny          : “Disini kamu rupanya! Olive, kenapa kamu membolos? Dan apa itu? Rokok! Kamu merokok juga? Apa yang kamu lakukan bersama Eza disini? Sekarang ikut ke ruangan Bapak!”
Pak Donny langsung mencabut rokok yang ada ditangan Olive dan membuangnya. Setibanya di sana, Pak Donny duduk tanpa basa-basi memulai pembicaraan.
Pak Donny          : “Olive!”
Pak Donny          : “Baiklah! Kira-kira apa hukuman yang layak untuk kamu, Olive?”
Olive                      : “Saya tidak tahu, Pak. Saya rasa Bapak lebih ahli soal hukuman daripada saya.”
Pak Donny          : “Kalau begitu mulai besok kamu Bapak hukum untuk membersihkan toilet selama dua minggu (Kata Pak Donny dengan tegas).”
Olive                      : “Baiklah! (Jawab Olive dengan enteng) “Tapi Bapak tahu kalau saya tidak akan melakukannya?”
Pak Donny          : “Kalau tidak mau melaksanakannya, hukumannya bertambah menjadi tiga minggu!”
Olive                      : “Kenapa tidak dikeluarkan saja sekalian?”
Pak Donny          : “ Karena mengeluarkan mu adalah perkara yang terlalu mudah dan justru sesuai dengan keinginanmu, bukan? Sayang sekali, Olive, kamu tidak akan semudah itu dikeluarkan.!”
Olive                      : “Kita lihat saja nanti!”
Pak Donny          : “Bapak tidak sabar untuk melihatnya.” (Tatapannya beralih kepada Eza) “Sekarang kamu, Eza, apa yang kamu lakukan bersama Olive?”
Eza                         : “Tidak ada, Pak!”
Pak Donny          : “Benarkah tidak apa-apa?”
Eza                         : (Mengangguk)
Pak Donny          : “Bapak percaya padamu!”
Olive memandang Eza dan Pak Donny dengan sinis. Begitu mudahnya wali kelasnya itu percaya pada Eza. Tidak pernah ada yang percaya pada Olive. Tidak seorang pun.
Pak Donny          : “Cobalah untuk bersikap baik, Olive. Masa muda hanya terjadi sekali seumur hidup. Kamu akan menyesal kalau menyia-nyiakannya.”
Olive                      : ‘Kenapa sih guru-guru selalu berpetuah panjang-lebar? (Tanya Olive dalam hati).”
Pak Donny          : “Nikmati masa mudamu! Bertemanlah sebanyak-banyaknya.”
Olive                      : “Bapak pasti bercanda. Tidak ada seorang pun yang mau berteman dengan saya.”
Eza                         : “Aku mau berteman dengan kamu.”
Olive                      : “Sayang sekali, aku tidak mau berteman dengan kamu.”
Pak Donny berdiri dari kursinya.
Pak Donny          : “Bapak harus menghentikan perdebatan kalian karena harus masuk kelas untuk mengajar dan sebaiknya kamu juga berasa disina, Olive.”
Olive dan Eza keluar dari ruangan Pak Donny.
Olive                      : “Kamu yakin mau jadi temanku anak teladan?”
Eza                         : “Perkataan terakhir tadi membuatku yakin untuk menjadi temanmu.”
Olive                      : “Oh! Perkataan yang manis! (Ejek Olive) “Tapi sayang sekali, aku tidak mau jadi temanmu. Tidak sekarang, tidak juga nanti.”
Eza                         : “Aku hanya ingin berteman denganmu. Kalau kamu tidak mau jadi temanku, tidak apa-apa! Aku mengerti. Aku akan tunggu sampai kamu mau jadi temanku.”
Olive                      : “Itu tidak akan terjadi (Jawab Olive ketus).”
Eza                         : “Aku hanya orang optimis, Olive! Aku punya keyakinan hal itu akan terjadi.”

Olive memainkan makanan dipiringnya. Dia memandang mamanya dengan kesal. Malam ini, saat Olive sedang makan, mamanya tiba-tiba masuk dan duduk di seberangnya.
Nia                         : “Jadi kamu membuat masalah lagi disekolah?”
Olive                      : (Tertawa) “Wow! Aku kira Mama datang mau makan malam bersamaku, ternyata Mama datang mau menegurku lagi! Jadi apa yang terjadi? Wali kelasku menelpon Mama?”
Nia                         : “Olive!”
Olive membalas teriakan mamanya dengan menusukkan garpunya pada lauk di piringnya dan mengunyahnya.
Nia                         : “Merokok dan bolos pelajaran? Apakah kamu tidak kapok juga? Apa ini cara kamu menarik perhatian Mama?”
Olive                      : “Aku rasa Mama salah! Aku bermaksud membuat Mama marah. Dan tampaknya itu berhasil.”
Nia                         : (Langsung menggebrak  meja) “Mama tidak mau melihat kelakuanmu seperti ini lagi, Olive! Hentikan sifat kekanak-kanakan ini. Mau sampai kapan kamu begini?”
Olive                      : (Tertawa lebar)
Nia                         : “Kenapa kamu tertawa?”

Olive                      : “Aku merasa lucu sekali. Mama toh tidak akan sempat melihat kenakalanku karena Mama tidak akan berada disini saat aku melakukannya. Bukankah Mama mau pergi keluar kota lagi?”
Nia                         : “Olive!!! (Teriak mamanya kehilang kesabaran).”
Olive memandang mamanya dengan bosan dan bangkit dari tempat duduknya dimeja makan. Dilihatnya vas bunga kesayangan mamanya dibufet dekat pintu, dan dengan sengaja menjatuhkannya. Vas itu pecah berkeping-keping.
Nia                         : “Cukup,Olive! Hentikan semua ini sekarang juga! Kamu tahu itu vas bunga kesayangan Mama.”
Olive                      : “Ya, aku tahu. Toh Mama bisa membelinya lagi, iya kan? (Lalu dengan manisnya Olive berkata) “Permisi Ma, Olive capek, mau istirahat dulu.”
Nia                         : “Tunggu, Olive! Kenapa kita selalu saja berteriak satu sama lain? Tidak bisakah kita berbicara dengan  tenang?”
Olive                      : “Aku rasa tidak. Lagi pula hanya inilah satu-satunya persamaan yang kita miliki. Berteriak satu sama lain. Aku tidak ingin mendengar penjelasan apa pun dari Mama. Karena aku tidak akan mempercayai satu pun perkataan Mama saat ini. Mama kan tahu hanya Papa yang bisa menenangkanku?”
Nia                         : “Tapi papamu sekarang tidak ada di sini!”
Olieve                   : “Dan salah siapakah itu? (Cemooh Olive).”
Nia                         : “Kalau kamu merasa lebih baik dengan menyalahkan Mama atas kepergian papamu, Mama tidak keberatan. Silahkan salahkan Mama sepuasmu. Tapi hal itu tidak akan membuatmu puas  bukan? Mama berpisah dengan papamu karena kami berdua menginginkan hal yang berbeda. Tentu saja Mama mencintai papamu, tapi terkadang urusannya tidak sesederhana itu.”
Setelah itu Olive bergegas ke kamarnya, meninggalkan mamanya yang terdiam di ruang makan. Mama Olive menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan matanya. Dibenaknya tergambar kembali perpisahan mereka satu tahun lalu.

Entah mengapa hari ini menjadi hari yang begitu membuatnya gelisah. Seharian bekerja dikantor kerap kali dilakukannya dengan tidak bersemangat. Tiba-tiba Handpone Nia pun berdering ternyata dari Tio suaminya.
Nia                         : “Hallo mas. Iya ada apa?”
Tio                          : “Kamu bisa pulang ke rumah sekarang tidak? Ada yang mas mau bicarain kekamu, penting!”
Nia                         : “Oke mas setengah jam lagi aku pulang kerumah.”
Sepulangnya di rumah. Nia kaget karena Tio bukan hanya seorang diri melainkan bersama seorang wanita muda yang tengah hamil tua.
Tio                          : “Bukannya wanita ini sekretaris mas? Wah sudah lama tidak bertemu sudah hamil besar begini ya? Mudah-mudahan kamu dan anak kamu selamat ketika persalinan nanti.”
Fitry                       : “ Makasih Mba.”
Nia                         : “Ada apa mas? Kata mas tadi ada yang penting?”
Tio                          : “Maafin mas.”
Nia                         : “Minta maaf kenapa mas? (Tanya Nia semakin penasaran dibuatnya).”
Tio                          : “Mas telah menikah siri dengan Fitry.”
Nia                         : “Apa???”
Tio                          : (Berlutut dan meminta maaf kepada Nia) “Mas minta maaf dan mas harap kamu mau menerima Fitry dan anaknya menjadi bagian dari keluarga kita.”
Nia                         : “Mas bahagia bersamanya?
Tio                          : “Ya mas bahagia bersama Fitry seperti mas bahagia bersama kamu, Nia.”
Nia                         : “Aku merestui hubungan kalian. Aku akan mengurus perceraian kita secepatnya dan aku berharap hak asuh Olive jatuh ke tangan aku.”
Peceraian Bramantio dan Nia Nataly pun terjadi. Mereka sepakat hak asuh anak mereka yaitu Olive akan jatuh ketangan Nia. Sungguh hari yang sangat menyakitkan untuk Nia. Suami yang begitu dia cintai tega mengkhianati cintanya yang begitu tulus. Dan tidak ada satu wanita pun yang rela di madu. Tak terkecuali Nia. Jika pun ada mungkin hanya 1:1000. Menjadi wanita sebagai seorang ibu dan sekaligus sebagai seorang ayah bagi anaknya. Membuat Nia harus bekerja keras untuk menghidupi hidupnya sendiri dan anak semata wayangnya. Itulah sebabnya mengapa setelah perceraian itu Nia menjadi sangat sibuk dan hampir tidak ada waktu untuk bersama Olive.

Siang itu, sepulang sekolah Olive membersihkan toilet ditemani Eza. Tanpa sepengetahuan mereka Pak Donny melihatnya dari jauh dan tersenyum. Eza memperhatikan Olive yang sedang membersihkan WC dengan senang. Tiba-tiba Olive tertawa.
Eza                         : ”Apa yang kamu tertawakan?”
Olive                      : “ Aku hanya memikirkan perkataan yang dulu.”
Eza                         : “Yang mana?”
Olive                      : ”Kamu bilang hidupmu hanya berkisar dirumah sakit sekarang aku merasa hidupku hanya akan berkisar ditoilet.”
Eza                         : (Tertawa terbahak) “Kamu tidak akan membersihkan WC kalau kamu tidak melakukan kesalahan lagi.”
Olive                      : “Yah, benar! (Kata Olive malas) “Tapi aku punya perasaan aku akan melakukannya lagi.”
Eza                         : “Berhentilah menyakiti dirimu sendiri. Rasanya tidak enak. Aku pernah mengalaminya  waktu berumur dua belas tahun. Papa melarangku pergi ke taman bermain bersama teman-teman karena aku tidak cukup sehat. Aku mengamuk seharian. Ketika melihat Papa dan Mama mengangis, akhirnya aku berhenti mengamuk dan sadar bahwa mereka juga sedih.”
Olive terdiam mendengar cerita Eza. Olive membayangkan Eza yang berusia dua belas tahun mengamuk karena tidak bisa pergi ke tempat bermain seperti anak yang lainnya. Di lain pihak, dirinya mungkin sedang bersenang-senang ditaman bermain tersebut bersama papa dan mamanya. Kenangan akan papanya membuat Olive sedih lagi.
Olive                      : “Setahun yang lalu orangtuaku bercerai. Aku tidak pernah dekat dengan Mama, dan Papa malah meninggalkan aku dengannya! Aku membenci mereka berdua.”
Eza                         : ‘Begitu rupanya’ (Kata Eza dalam hati).”
Olive                      : “Aku marah sekali dan berusaha sekeras mungkin untuk menyakiti Mama dan orang-orang yang ku temui.”
Eza                         : “Tetapi kamu malah menyakiti dirimu sendiri lebih dalam lagi. (Eza menyelesaikan perkataan Olive).”
Olive                      : “Ya!”
Eza                         : “Sudah selesai ngepelnya?”
Olive                      : “Ya!”
Eza                         : “Baiklah, aku pulang dulu. Pak Budi, sopirku, pasti sudah menunggu dari tadi. Kamu mau kuantar pulang?”
Olive                      : “Tidak usah! Aku bisa pulang sendiri.”
Eza                         : “Sampai jumpa besok. (Ujar Eza, membalikkan badannya dan melangkah menuju gerbang sekolah).”
Olive                      : “Syahreza. (Teriak Olive).”
Eza                         : “Apa? Kamu tahu nama lengkapku ya?”
Olive                      : “Hi, aku mau jadi temanmu.”
Eza                         : “Terima kasih! (Eza tersenyum dan berjalan mendekati Olive lagi).”
Olive                      : “ Hanya satu yang membuatku penasaran.”
Eza                         : “Apa itu?”
Olive                      : “Kenapa kamu mau berteman denganku?”
Eza                         : “Alasan yang sama kamu ingin berteman denganku. Karena tidak ada yang mau berteman dengan orang yang penyakitan.”
Olive                      : “Dan tidak ada yang mau berteman dengan anak berandalan.”
Mereka berdua tersenyum.
Olive memandang punggung Eza yang menjauhinya. Untuk pertama kali dalam setahun ini dia merasa gembira.

Eza                         : “Kamu kenapa, Olive? (Tanya Eza dengan bingung ketika melihat Olive yang sedang melamun sendirian disudut taman sekolah).”
Olive                      : “Tadi pihak rumah sakit bhyangkara telpon mengabarkan kalau Mama kecelakaan sewaktu perjalanan Mama pulang dari luar kota.Aku pengen nengokin Mama tapi aku takut. Aku sering berantem dengan Mama dan Mama pastinya juga tidak mau aku tengokin.”
Eza                         : “Aku percaya Mama kamu itu sayang dengan kamu. Didunia ini tidak ada orangtua yang tidak sayang dengan anaknya sendiri. Aku yakin Mama kamu pasti senang kalau kamu tengokin dia. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat buat kamu bicara dengan Mama dan memperbaiki hubungan kamu yang telah lama renggang.”

Sesampainya Olive dirumah. Olive bergegas mengganti pakaiannya untuk pergi nengokin Mamanya. Kebetulan uang Olive habis dan Olive bermaksud untuk mengambil uang di kamar mamanya. Dan betapa terkejutnya Olive ketika Olive melihat foto pernikahan papanya dengan wanita lain.
Olive                      : “Papa!!!”
Olive                      : “Aku tidak menyangka ternyata selama ini aku salah. Papalah yang mengkhianati cinta Mama. Aku menyesal. Hiks ...”

Dirumah sakit Nia terbaring lunglai. Badannya penuh dengan luka-luka yang dibalut dengan perban. Kini Nia hanya bisa tertidur dalam komanya. Entah sampai kapan dia akan terbangun dari komanya itu.
Olive                      : “Mama cepat sembuh ya, Olive menyayangi Mama.”

0 komentar:

Posting Komentar