Aku Sayang Mama
Dipagi yang cerah dan hembusan embun yang begitu sejuk
membuatnya terasa nyaman. Mentari pagi hari telah membangunkan seluruh isi
bumi. Dilihatnya senyum mentari yang begitu mempesona. Pagi ini tiba saatnya
Olive pergi kesekolah tepatnya di SMAN Harapan Bangsa. Olive anak semata wayang
dari Bramantio yang biasa dipanggil Tio dan istrinya Nia. Walaupun kadang Olive
kesepian karena mama dan papanya selalu sibuk kerja. Olive bahagia dengan keluarga
kecil ini. Dilihatnya mama dan papanya sedang mengobrol diruang makan.
Olive :
“Pagi Mama, pagi Papa.”
Nia & Tio :
“Pagi sayang (Jawab mereka serentak).”
Nia :
“Makan dulu sayang nasi goreng bikinan Mama.”
Olive :
“Beres Mama.”
Tio :
“Nanti kamu kesekolah ikut Papa ya. Papa ingin mengantar kamu kesekolah.”
Olive :
“Oke Papa, tumben mau mengantar aku ke
sekolah biasanya aku disuruh naik bus sendiri?”
Tio :
“Papa kangen sama anak Papa yang semakin hari semakin besar ini (sambil
dielusnya rambut anak kesayangannya itu).”
Olive :
“Papa bisa saja kayak kita tidak tinggal serumah gitu. Kan Papa tiap hari lihat
Olive.”
Tio :
“Tidak apa-apa dong sayang sekali-kali Papa mengantar anak Papa yang cantik
ini.”
Olive :
“Ih Papa gombal.”
Nia :
(Ikut tersenyum dengan percakapan anak dan suaminya yang begitu hangat).
Setahun kemudian ...
Aku benci hidupku !!!
Olive berteriak dalam hati sambil memandang langit-langit
ruang olahraga. Dia tidak tahu sudah berapa lama berada di sana. Yang jelas,
dia sudah membolos pelajaran sejak tadi pagi. Tangan kanannya memegang sebatang
rokok. Dia merokok sambil duduk di tepi jendela, mencoba mengingat sudah berapa
banyak rokok yang diisapnya. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
Olive sudah tidak pernah mau memedulikan apa pun lagi semenjak
papanya bercerai dengan mamanya setahun lalu. Dia sama sekali tidak tahu kalau
hubungan orangtuanya bermasalah. Jadi setahun lalu tanpa ada tanda apa-apa
sebelumnya, papa menjelaskan bahwa dia ingin bercerai dengan mama dan pergi
keluar kota.
Olive :
“Aku muak dengan hidupku, aku benci Mama. Gara-gara Mama, Papa pergi.”
Olive menutup diri rapat-rapat selama dua minggu pasca
setelah perceraian kedua orangtuanya. Keluar kamar hanya kalau mau minum. Makan
dia beli dari luar. Tidak bicara. Tidak sekolah. Setelah dua minggu, Olive
mulai keluar dari kamar. Tapi kepribadiannya berubah total. Dia berangkat
sekolah, tapi mulai membolos sekolah dan belajar merokok.
Mamanya tentu saja marah besar. Tetapi apa pun yang
dikatakan ibunya, Olive tidak mau peduli lagi. Padahal dulunya Olive adalah
anak yang berprestasi dan peduli pada orang lain.
Nia :
“Mama mohon kamu jangan buat Mama malu. Kepala sekolah kamu memanggil Mama.
Katanya kamu sering membolos dan suka merokok. Kamu itu kenapa? Kenapa menjadi anak
pembangkang?”
Olive :
“Olive tidak suka sekolah. Olive kayak gini karena Mama. Apa yang Mama lakuin
sehingga Papa pergi tinggalin kita. Apa Mama selingkuh?”
Nia :
(Sontak menampar Olive dengan tangan kanannya).
Olive :
“Aku benci Mama (Pergi meninggalkan ruang tengah dimana insiden itu baru
selesai terjadi).”
Hati Nia meringis menahan sakit yang begitu perih. Disatu
sisi dia ingin menangis karena telah menampar anak kesayanganya dan disisi lain
luka lama karena mantan suaminya terkuak kembali. Nia menyadari anaknya masih
belum dewasa untuk mengerti akan fakta yang sebenarnya. Nia hanya ingin Olive
mengganggap papanya sebagai sosok ayah yang paling baik yang pernah Olive
miliki.
Olive membuka matanya dengan perlahan. Mentari sudah terang menyilaukan
ketika memasuki jendela kamar tidurnya. Dilihatnya jam dinding. Jam sepuluh
lebih lima belas menit. Yang pasti, sekolah sudah dimulai beberapa jam yang
lalu. Olive heran mamanya tidak membangunkannya pagi-pagi untuk berangkat
sekolah. Yang pasti, jam sekian ini mamanya pasti sudah pergi ke kantor.
Pekerjaan selalu lebih penting dari apa pun baginya.
Olive bangkit dari tempat tidurnya dengan perlahan. Selesai
mandi dia mengenakan baju seragamnya dengan sengaja mengeluarkan bajunya,
membuatnya jadi terlihat berantakan. Ketika Olive tiba disekolahnya, gerbang
sekolah sudah ditutup. Dia memanjat gerbang tersebut tanpa masalah.
Sesaat setelah kaki Olive menyentuh lapangan sekolah,
seorang satpam berjalan menghapirinya.
Olive :
‘Sial’ (Gerutu Olive dalam hati).”
Sebetulnya dia senang-senang saja aksi memanjatnya diketahui
seseorang. Semakin cepat dia membuat kesalahan. Semakin cepat dia akan
dikeluarkan dari sekolah ini. Tetapi perutnya sedang keroncongan karena tadi
pagi belum makan. Saat ini yang dipikirkannya adalah bagaimana dia bisa menuju
kantin secepatnya.
Si satpam :
“Selamat pagi! Apa kamu tidak tahu jika gerbang sekolah sudah ditutup, para
siswa dilarang memasuki sekolah tanpa seizin guru?”
Olive :
“Saya tahu kok! (kata Olive dengan enteng). “Pertama-tama Bapak akan menanyakan
nama saya, lalu melaporkan saya pada guru piket hari ini, kemudian guru
tersebut akan menentukan hukuman untuk saya.”
Si bapak satpam mengerutkan keningnya. Baru kali ini dia
menemui seorang murid yang tidak merasa
bersalah melakukan pelanggaran sekolah.
Olive :
“Begini saja, Pak, bagaimana kalau Bapak pura-pura tidak tahu tentang
pelangggaran saya ini? Sebetulnya saya tidak keberatan kalau saya dihukum.
Malah itu lebih baik. Tapi perut saya sangat lapar saat ini, jadi saya tidak
punya waktu untuk berbasa-basi lagi.”
Si satpam :
“Baiklah!” (Katanya menyerah).”
Olive :
“Saya yakin saya akan melakukan hal ini lagi kapan-kapan. Saat itu Bapak boleh
melaporkan saya pada para guru. Saya tidak keberatan sama sekali!”
Oliveberlari meninggalkan pak satpam yang kebingungan
mencerna arti perkataan tersebut. Dalam hati Olive menyadari bahwa mencari cara
untuk membuat onar lebih mudah daripada menjadi murid teladan. Sama halnya
dengan membuat kenangan buruk lebih mudah daripada membuat kenangan baik.
Perutnya berbunyi lagi. Olive berlari kearah kantin. Tak
berapa lama kemudian, dia duduk dibangku kantin sambil menikmati makanannya.
Setelah selesai, dia berjalan-jalan mengelilingi sekolah. Langkahnya terhenti
saat melihat Eza yang duduk di bangku taman sekolah. Dilihatnya teman-teman
sekelas cowok itu sedang berolahraga tidak jauh dari sana. Olive mendekati lalu
duduk di sebelahnya.
Olive :
”Wah! Rupanya si anak teladan bisa bolos pelajaran juga! Bagaimana kalau aku
beritahu Pak Guru kamu bolos pelajaran olahraga?”
Eza :
“Bukannya kamu juga bolos?”
Olive :
(Tertawa) “Ya! Itu maksudku! Apakah sebaiknya kita memberitahu Pak Guru kalau
kita berdua membolos? Aku jadi penasaran hukuman apa yang akan diberikan oleh
mereka!”
Eza :
“Aku tidak tahu! Aku belum pernah dihukum!”
Olive :
(Olive mengeleng-gelengkan kepalanya) “ Ya! Aku yakin begitu kamu tidah pernah
melakukan kesalahan makanya tidak pernah dihukum. Apakah kamu tidak bosan
menjadi anak teladan terus-menerus? Cobalah sekali-kali menjadi anak nakal dan
melihat betapa kreatifnya para guru membuat hukuman!”
Eza :
“Kreatif? (Tanya Eza bingung).”
Olive :
“Dari lari keliling lapangan, mencat meja sekolah, menulis ‘aku tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi’ diatas seratus
lembar kertas, membereskan buku di perpustakaan, sampai membersihkan WC!”
Eza :
(Tertawa) “Dan kamu merasakan semuanya?”
Olive :
“Tidak! Aku bilang aku melihat bukan merasakan! Aku sudah keburu drop out
sebelum hukuman itu dilakasanakan!”
Tangan Olive mengeluarkan sebatang rokok dan pematik api
yang memang sudah dia bawa di sakunya. Olive menyelipkan rokok di bibirnya.
Sebelum dia sempat menyulutnya, Eza menatapnya dan berkata,
Eza :
“Tolong jangan merokok!”
Olive :
(Tertawa pendek) “Kenapa? Mau menasehatiku kalau merokok tidak bagus buat
kesehatanku?”
Eza :
(Eza menggeleng) “Tidak! Sebenarnya justru tidak bagus buat kesehatanku!”
Olive :
(Tertegun mendengarnya) “Apa maksudmu?”
Eza :
“Aku sakit (Jelas Eza sederhana).”
Olive :
“Sakit? (Tanya Olive lagi).”
Eza :
(Mengangguk) “Aku tidak membolos pelajaran olahraga. Aku memang tidak bisa
mengikutinya.”
Olive :
“Memangnya kamu sakit apa? (Tanya Olive penasaran) “Flu, sakit perut, demam
atau apa?”
Eza :
“Aku punya kelainan jantung sejak lahir!”
Untuk sesaat Olive tidak sanggup berkata-kata. Mereka
berdiam diri selama beberapa saat.
Olive :
“Mengapa kamu memerhatikanku kemaren sewaktu berolahraga? (Tanya Olive
diam-diam). Asal tahu saja, aku benar-benar tidak suka kalau ada orang yang
memperhatikanku tanpa sepengetahuanku. Apa karena kamu ingin melihat si anak
berandalan, dan berpikir betapa beruntungnya kamu menjadi anak teladan?”
Eza :
“Tidak! (Jawab Eza singkat).”
Olive :
“Lalu kenapa? (Tanya Olive penasaran).”
Eza :
“Karena aku iri padamu! Kamu bisa bermain voli dengan senang. Aku tidak pernah
bisa bermain seperti itu. Hidupku hanya berkisar disekolah dan rumah sakit!
Tidak boleh berolahraga sekali pun karena itu bisa membahayakan jantungku.”
Olive tidak menyangka Eza akan berpikiran seperti itu. Baru
pertama kali ada orang yang iri padanya hanya karena dia ingin bermain voli.
Sesaat Olive merasa kasihan pada pemuda ini. Olive berusaha keras untuk
menghancurkan hidupnya, di lain pihak Eza justru berusaha keras untuk
mempertahankan hidupnya.
Tiba-tiba saja Pak Donny muncul di hadapan mereka berdua.
Pak Donny :
“Disini kamu rupanya! Olive, kenapa kamu membolos? Dan apa itu? Rokok! Kamu
merokok juga? Apa yang kamu lakukan bersama Eza disini? Sekarang ikut ke
ruangan Bapak!”
Pak Donny langsung mencabut rokok yang ada ditangan Olive
dan membuangnya. Setibanya di sana, Pak Donny duduk tanpa basa-basi memulai
pembicaraan.
Pak Donny :
“Olive!”
Pak Donny : “Baiklah!
Kira-kira apa hukuman yang layak untuk kamu, Olive?”
Olive :
“Saya tidak tahu, Pak. Saya rasa Bapak lebih ahli soal hukuman daripada saya.”
Pak Donny :
“Kalau begitu mulai besok kamu Bapak hukum untuk membersihkan toilet selama dua
minggu (Kata Pak Donny dengan tegas).”
Olive :
“Baiklah! (Jawab Olive dengan enteng) “Tapi Bapak tahu kalau saya tidak akan
melakukannya?”
Pak Donny : “Kalau tidak mau
melaksanakannya, hukumannya bertambah menjadi tiga minggu!”
Olive :
“Kenapa tidak dikeluarkan saja sekalian?”
Pak Donny : “
Karena mengeluarkan mu adalah perkara yang terlalu mudah dan justru sesuai
dengan keinginanmu, bukan? Sayang sekali, Olive, kamu tidak akan semudah itu
dikeluarkan.!”
Olive :
“Kita lihat saja nanti!”
Pak Donny :
“Bapak tidak sabar untuk melihatnya.” (Tatapannya beralih kepada Eza) “Sekarang
kamu, Eza, apa yang kamu lakukan bersama Olive?”
Eza : “Tidak ada, Pak!”
Pak Donny :
“Benarkah tidak apa-apa?”
Eza :
(Mengangguk)
Pak Donny :
“Bapak percaya padamu!”
Olive memandang Eza dan Pak Donny dengan sinis. Begitu
mudahnya wali kelasnya itu percaya pada Eza. Tidak pernah ada yang percaya pada
Olive. Tidak seorang pun.
Pak Donny :
“Cobalah untuk bersikap baik, Olive. Masa muda hanya terjadi sekali seumur
hidup. Kamu akan menyesal kalau menyia-nyiakannya.”
Olive :
‘Kenapa sih guru-guru selalu berpetuah
panjang-lebar? (Tanya Olive dalam hati).”
Pak Donny :
“Nikmati masa mudamu! Bertemanlah sebanyak-banyaknya.”
Olive :
“Bapak pasti bercanda. Tidak ada seorang pun yang mau berteman dengan saya.”
Eza :
“Aku mau berteman dengan kamu.”
Olive :
“Sayang sekali, aku tidak mau berteman dengan kamu.”
Pak Donny berdiri dari kursinya.
Pak Donny :
“Bapak harus menghentikan perdebatan kalian karena harus masuk kelas untuk
mengajar dan sebaiknya kamu juga berasa disina, Olive.”
Olive dan Eza keluar dari ruangan Pak Donny.
Olive :
“Kamu yakin mau jadi temanku anak teladan?”
Eza :
“Perkataan terakhir tadi membuatku yakin untuk menjadi temanmu.”
Olive :
“Oh! Perkataan yang manis! (Ejek Olive) “Tapi sayang sekali, aku tidak mau jadi
temanmu. Tidak sekarang, tidak juga nanti.”
Eza :
“Aku hanya ingin berteman denganmu. Kalau kamu tidak mau jadi temanku, tidak
apa-apa! Aku mengerti. Aku akan tunggu sampai kamu mau jadi temanku.”
Olive :
“Itu tidak akan terjadi (Jawab Olive ketus).”
Eza :
“Aku hanya orang optimis, Olive! Aku punya keyakinan hal itu akan terjadi.”
Olive memainkan makanan dipiringnya. Dia memandang mamanya
dengan kesal. Malam ini, saat Olive sedang makan, mamanya tiba-tiba masuk dan
duduk di seberangnya.
Nia :
“Jadi kamu membuat masalah lagi disekolah?”
Olive :
(Tertawa) “Wow! Aku kira Mama datang mau makan malam bersamaku, ternyata Mama
datang mau menegurku lagi! Jadi apa yang terjadi? Wali kelasku menelpon Mama?”
Nia :
“Olive!”
Olive membalas teriakan mamanya dengan menusukkan garpunya
pada lauk di piringnya dan mengunyahnya.
Nia :
“Merokok dan bolos pelajaran? Apakah kamu tidak kapok juga? Apa ini cara kamu
menarik perhatian Mama?”
Olive :
“Aku rasa Mama salah! Aku bermaksud membuat Mama marah. Dan tampaknya itu
berhasil.”
Nia :
(Langsung menggebrak meja) “Mama tidak
mau melihat kelakuanmu seperti ini lagi, Olive! Hentikan sifat kekanak-kanakan
ini. Mau sampai kapan kamu begini?”
Olive :
(Tertawa lebar)
Nia :
“Kenapa kamu tertawa?”
Olive :
“Aku merasa lucu sekali. Mama toh tidak akan sempat melihat kenakalanku karena
Mama tidak akan berada disini saat aku melakukannya. Bukankah Mama mau pergi
keluar kota lagi?”
Nia :
“Olive!!! (Teriak mamanya kehilang kesabaran).”
Olive memandang mamanya dengan bosan dan bangkit dari tempat
duduknya dimeja makan. Dilihatnya vas bunga kesayangan mamanya dibufet dekat
pintu, dan dengan sengaja menjatuhkannya. Vas itu pecah berkeping-keping.
Nia :
“Cukup,Olive! Hentikan semua ini sekarang juga! Kamu tahu itu vas bunga
kesayangan Mama.”
Olive :
“Ya, aku tahu. Toh Mama bisa membelinya lagi, iya kan? (Lalu dengan manisnya
Olive berkata) “Permisi Ma, Olive capek, mau istirahat dulu.”
Nia :
“Tunggu, Olive! Kenapa kita selalu saja berteriak satu sama lain? Tidak bisakah
kita berbicara dengan tenang?”
Olive :
“Aku rasa tidak. Lagi pula hanya inilah satu-satunya persamaan yang kita
miliki. Berteriak satu sama lain. Aku tidak ingin mendengar penjelasan apa pun
dari Mama. Karena aku tidak akan mempercayai satu pun perkataan Mama saat ini.
Mama kan tahu hanya Papa yang bisa menenangkanku?”
Nia :
“Tapi papamu sekarang tidak ada di sini!”
Olieve :
“Dan salah siapakah itu? (Cemooh Olive).”
Nia :
“Kalau kamu merasa lebih baik dengan menyalahkan Mama atas kepergian papamu,
Mama tidak keberatan. Silahkan salahkan Mama sepuasmu. Tapi hal itu tidak akan
membuatmu puas bukan? Mama berpisah
dengan papamu karena kami berdua menginginkan hal yang berbeda. Tentu saja Mama
mencintai papamu, tapi terkadang urusannya tidak sesederhana itu.”
Setelah itu Olive bergegas ke kamarnya, meninggalkan mamanya
yang terdiam di ruang makan. Mama Olive menarik napas dalam-dalam, lalu
memejamkan matanya. Dibenaknya tergambar kembali perpisahan mereka satu tahun
lalu.
Entah mengapa hari ini menjadi hari yang begitu membuatnya
gelisah. Seharian bekerja dikantor kerap kali dilakukannya dengan tidak
bersemangat. Tiba-tiba Handpone Nia pun berdering ternyata dari Tio suaminya.
Nia :
“Hallo mas. Iya ada apa?”
Tio :
“Kamu bisa pulang ke rumah sekarang tidak? Ada yang mas mau bicarain kekamu,
penting!”
Nia :
“Oke mas setengah jam lagi aku pulang kerumah.”
Sepulangnya di rumah. Nia kaget karena Tio bukan hanya
seorang diri melainkan bersama seorang wanita muda yang tengah hamil tua.
Tio :
“Bukannya wanita ini sekretaris mas? Wah sudah lama tidak bertemu sudah hamil
besar begini ya? Mudah-mudahan kamu dan anak kamu selamat ketika persalinan
nanti.”
Fitry :
“ Makasih Mba.”
Nia :
“Ada apa mas? Kata mas tadi ada yang penting?”
Tio :
“Maafin mas.”
Nia :
“Minta maaf kenapa mas? (Tanya Nia semakin penasaran dibuatnya).”
Tio :
“Mas telah menikah siri dengan Fitry.”
Nia :
“Apa???”
Tio :
(Berlutut dan meminta maaf kepada Nia) “Mas minta maaf dan mas harap kamu mau
menerima Fitry dan anaknya menjadi bagian dari keluarga kita.”
Nia :
“Mas bahagia bersamanya?
Tio :
“Ya mas bahagia bersama Fitry seperti mas bahagia bersama kamu, Nia.”
Nia :
“Aku merestui hubungan kalian. Aku akan mengurus perceraian kita secepatnya dan
aku berharap hak asuh Olive jatuh ke tangan aku.”
Peceraian Bramantio dan Nia Nataly pun terjadi. Mereka
sepakat hak asuh anak mereka yaitu Olive akan jatuh ketangan Nia. Sungguh hari
yang sangat menyakitkan untuk Nia. Suami yang begitu dia cintai tega
mengkhianati cintanya yang begitu tulus. Dan tidak ada satu wanita pun yang
rela di madu. Tak terkecuali Nia. Jika pun ada mungkin hanya 1:1000. Menjadi
wanita sebagai seorang ibu dan sekaligus sebagai seorang ayah bagi anaknya.
Membuat Nia harus bekerja keras untuk menghidupi hidupnya sendiri dan anak
semata wayangnya. Itulah sebabnya mengapa setelah perceraian itu Nia menjadi
sangat sibuk dan hampir tidak ada waktu untuk bersama Olive.
Siang itu, sepulang sekolah Olive membersihkan toilet
ditemani Eza. Tanpa sepengetahuan mereka Pak Donny melihatnya dari jauh dan
tersenyum. Eza memperhatikan Olive yang sedang membersihkan WC
dengan senang. Tiba-tiba Olive tertawa.
Eza :
”Apa yang kamu tertawakan?”
Olive :
“ Aku hanya memikirkan perkataan yang dulu.”
Eza :
“Yang mana?”
Olive :
”Kamu bilang hidupmu hanya berkisar dirumah sakit sekarang aku merasa hidupku
hanya akan berkisar ditoilet.”
Eza :
(Tertawa terbahak) “Kamu tidak akan membersihkan WC kalau kamu tidak melakukan
kesalahan lagi.”
Olive :
“Yah, benar! (Kata Olive malas) “Tapi aku punya perasaan aku akan melakukannya
lagi.”
Eza :
“Berhentilah menyakiti dirimu sendiri. Rasanya tidak enak. Aku pernah
mengalaminya waktu berumur dua belas
tahun. Papa melarangku pergi ke taman bermain bersama teman-teman karena aku
tidak cukup sehat. Aku mengamuk seharian. Ketika melihat Papa dan Mama
mengangis, akhirnya aku berhenti mengamuk dan sadar bahwa mereka juga sedih.”
Olive terdiam mendengar cerita Eza. Olive membayangkan Eza
yang berusia dua belas tahun mengamuk karena tidak bisa pergi ke tempat bermain
seperti anak yang lainnya. Di lain pihak, dirinya mungkin sedang
bersenang-senang ditaman bermain tersebut bersama papa dan mamanya. Kenangan
akan papanya membuat Olive sedih lagi.
Olive :
“Setahun yang lalu orangtuaku bercerai. Aku tidak pernah dekat dengan Mama, dan
Papa malah meninggalkan aku dengannya! Aku membenci mereka berdua.”
Eza :
‘Begitu rupanya’ (Kata Eza dalam
hati).”
Olive :
“Aku marah sekali dan berusaha sekeras mungkin untuk menyakiti Mama dan
orang-orang yang ku temui.”
Eza :
“Tetapi kamu malah menyakiti dirimu sendiri lebih dalam lagi. (Eza
menyelesaikan perkataan Olive).”
Olive :
“Ya!”
Eza :
“Sudah selesai ngepelnya?”
Olive :
“Ya!”
Eza :
“Baiklah, aku pulang dulu. Pak Budi, sopirku, pasti sudah menunggu dari tadi.
Kamu mau kuantar pulang?”
Olive :
“Tidak usah! Aku bisa pulang sendiri.”
Eza :
“Sampai jumpa besok. (Ujar Eza, membalikkan badannya dan melangkah menuju
gerbang sekolah).”
Olive :
“Syahreza. (Teriak Olive).”
Eza :
“Apa? Kamu tahu nama lengkapku ya?”
Olive :
“Hi, aku mau jadi temanmu.”
Eza :
“Terima kasih! (Eza tersenyum dan berjalan mendekati Olive lagi).”
Olive :
“ Hanya satu yang membuatku penasaran.”
Eza :
“Apa itu?”
Olive :
“Kenapa kamu mau berteman denganku?”
Eza :
“Alasan yang sama kamu ingin berteman denganku. Karena tidak ada yang mau
berteman dengan orang yang penyakitan.”
Olive :
“Dan tidak ada yang mau berteman dengan anak berandalan.”
Mereka berdua tersenyum.
Olive memandang punggung Eza yang menjauhinya. Untuk pertama
kali dalam setahun ini dia merasa gembira.
Eza :
“Kamu kenapa, Olive? (Tanya Eza dengan bingung ketika melihat Olive yang sedang
melamun sendirian disudut taman sekolah).”
Olive :
“Tadi pihak rumah sakit bhyangkara telpon mengabarkan kalau Mama kecelakaan
sewaktu perjalanan Mama pulang dari luar kota.Aku pengen nengokin Mama tapi aku
takut. Aku sering berantem dengan Mama dan Mama pastinya juga tidak mau aku
tengokin.”
Eza :
“Aku percaya Mama kamu itu sayang dengan kamu. Didunia ini tidak ada orangtua
yang tidak sayang dengan anaknya sendiri. Aku yakin Mama kamu pasti senang
kalau kamu tengokin dia. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat buat kamu
bicara dengan Mama dan memperbaiki hubungan kamu yang telah lama renggang.”
Sesampainya Olive dirumah. Olive bergegas mengganti
pakaiannya untuk pergi nengokin Mamanya. Kebetulan uang Olive habis dan Olive
bermaksud untuk mengambil uang di kamar mamanya. Dan betapa terkejutnya Olive
ketika Olive melihat foto pernikahan papanya dengan wanita lain.
Olive :
“Papa!!!”
Olive :
“Aku tidak menyangka ternyata selama ini aku salah. Papalah yang mengkhianati
cinta Mama. Aku menyesal. Hiks ...”
Dirumah sakit Nia terbaring lunglai. Badannya penuh dengan
luka-luka yang dibalut dengan perban. Kini Nia hanya bisa tertidur dalam
komanya. Entah sampai kapan dia akan terbangun dari komanya itu.
Olive :
“Mama cepat sembuh ya, Olive menyayangi Mama.”